BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Rabu, 17 November 2010

TUGAS PERILAKU ETIKA DALAM BISNIS

1). Contoh penerapan moral dalam dunia bisnis:
  • bersaing secara sehat untuk mencapai target bisnis
  • bagi pemilik bisnis harus memperhatikan kesejahteraan karyawan ataupun golongan rendah
  • Tidak mudah tergoda oleh bujukan-bujukan yang cenderung merugikan dunia bisnis
2). Contoh penerapan etika dalam dunia bisnis:
  • Pada saat menjelang hari raya, para anggota DPR dilarang menerima bingkisan dalam bentuk apapun(pengendalian diri)
  • Pada saat ramadhan, pelaku bisnis mengadakan santunan kepada anak yatim (Pengembangan tanggung jawab sosial)
  • menciptakan sebuah perencanaan yang akan digunakan dalam memajukan dunia bisnis kedepannya(menerapkan konsep"pembangunan berkelanjutan")
  • Menaati segala peraturan yang telah ditetapkan perusahaan dan menjalankannya dengan sebaik mungkin (konsekuen dan konsisten dengan aturan mainyang telah disepakati bersama)
3). 4 kebutuhan dasar yang harus disepakati dr sebuah profesi:
  • kredibilitas: alasan yang masuk akal untuk bisa dipercaya.Seseorang yang memiliki kredibilitasberarti dpt dipercayai.
  • Profesionalisme:komitmen para profesional trhdp profesinya. Komitmen tsb ditunjukkan dgn kebanggan dirinya sbg tenaga profesioanal.
  • Kualitas Jasa:kualitas jasa dapat diperoleh dgn cara membandingkan antara pengharapan konsumen dgn penilaian mereka trhdap kinerja yang sebenarnya.
  • Kepercayaan:Suatu bentuk nyata, dimana berharganya diri sendiri. Kepercayaan dalam bisnis sangat penting karena tanpa kepercayan bisnis sulit untuk dijalani.

Selasa, 16 November 2010

MENEGAKKAN ETIKA BISNIS

Pengertian etika harus dibedakan dengan etiket. Etiket berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan yang baik antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama.

Berikut ini beberapa pendapat para ahli tentang etika:

“Etika merupakan bagian dari filsafat. Sebagai ilmu, etika mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia . . .memang apa yang tertemukan oleh etika mungkin menjadi pedoman seseorang, tetapi tujuan etika bukanlah untuk memberi pedoman, melainkan untuk tahu.”(Prof. Ir. Poedjawiyatna, Etika, Filsafat Tingkah Laku)

“Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan padangan-pandangan moral “(Franz Magnis Suseno)

“Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.” (A. Sonny Keraf)

“Etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika disebut pula akhlak dan disebut pula moral.” (Drs.Sudarsono)

Dengan membaca pendapat-pendapat di atas, kita mengetahui bahwa ada banyak pengertian tentang etika. Yang penting bagi pelaku bisnis adalah bagaimana menempatkan etika pada kedudukan yang pantas dalam kegiatan bisnis. Tugas pelaku bisnis adalah berorientasi pada norma-norma moral. Dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari dia berusaha selalu berada dalam kerangka ‘etis’, yaitu tidak merugikan siapa pun secara moral.

Tolok ukur dalam etika bisnis adalah standar moral. Seorang pengusaha yang beretika selalu mempertimbangkan standar moral dalam mengambil keputusan: apakah keputusanku ini dinilai baik atau buruk oleh masyarakat? Apakah keputusanku berdampak baik atau buruk kepada orang lain? Apakah keputusanku ini melanggar hukum atau tidak?

Ada dua prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etis dalam pengambilan keputusan yaitu :

1. Prinsip Konsequentialis: Konsep etika ini berfokus pada konsekuensi dari pengambilan keputusan yang dilakukan seseorang. Ini artinya, penilaian apakah sebuah keputusan dapat dikatakan etis atau tidak, itu tergantung pada konsekuensi (dampak) dari keputusan tersebut. Misalnya, keputusan mengalirkan lumpur panas ke laut. Penilaian etis atas keputusan ini diukur dari dampaknya terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat.

2. Prinsip Non-Konsekuentialis: Konsep etika ini mendasarkan penilaian pada rangkaian peraturan yang digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan. Penilaian etis lebih didasarkan pada alasan, bukan pada akibatnya. Ada dua prinsip utama di dalam konsep ini, yaitu:

* Prinsip Hak: Menjamin hak asasi manusia. Hak ini berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain.
* Prinsip Keadilan: Keadilan biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran,dan kesamaan. Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu : (1). Keadilan distributif. Keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban sosial. (2). Keadilan retributif. Keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang harus bertanggungjawab atas dampak negatif atas tindakan yang dilakukannya (kecuali jika tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain.) (3). Keadilan kompensatoris. Keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia.

SUMBER(http://unhalu.ac.id/staff/nitri/?p=48)NITRI MIROSEA

Etika Bisnis dan Pendidikan

Dalam sistem perekonomian pasar bebas, perusahaan diarahkan untuk mencapai tujuan mendapatkan keuntungan
semaksimal mungkin, sejalan dengan prinsip efisiensi. Namun, dalam mencapai tujuan tersebut pelaku bisnis kerap
menghalalkan berbagai cara tanpa peduli apakah tindakannya melanggar etika dalam berbisnis atau tidak.

Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi
penyimpangan norma-norma etis, meski perusahaan-perusahaan tersebut memiliki code of conduct dalam berbisnis
yang harus dipatuhi seluruh organ di dalam organisasi. Penerapan kaidah good corporate governace di perusahaan
swasta, BUMN, dan instansi pemerintah juga masih lemah. Banyak perusahaan melakukan pelanggaran, terutama dalam
pelaporan kinerja keuangan perusahaan.

Prinsip keterbukaan informasi tentang kinerja keuangan bagi perusahaan terdaftar di BEJ, misalnya seringkali dilanggar
dan jelas merugikan para pemangku kepentingan (stakeholders),terutama pemegang saham dan masyarakat luas
lainnya.Berbagai kasus insider trading dan banyaknya perusahaan publik yang di-suspend perdagangan sahamnya oleh
otoritas bursa menunjukkan contoh praktik buruk dalam berbisnis. Belum lagi masalah kerusakan lingkungan yang terjadi
akibat eksploitasi sumber daya alam dengan alasan mengejar keuntungan setinggi-tingginya tanpa memperhitungkan
daya dukung ekosistem lingkungan.

Bisa dibayangkan, dampak nyata akibat ketidakpedulian pelaku bisnis terhadap etika berbisnis adalah budaya korupsi
yang semakin serius dan merusak tatanan sosial budaya masyarakat. Jika ini berlanjut, bagaimana mungkin investor
asing tertarik menanamkan modalnya di negeri kita? Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang mengapa kesemua ini
terjadi? Apakah para pengusaha tersebut tidak mendapatkan pembelajaran etika bisnis di bangku kuliah? Apa yang salah
dengan pendidikan kita, karena seharusnya lembaga pendidikan berfungsi sebagai morale force dalam menegakkan nilai-
nilai kebenaran dalam berbisnis?

Bagaimana sebenarnya etika bisnis diajarkan di sekolah—kalaupun ada—dan di perguruan tinggi? Etika bisnis
merupakan mata kuliah yang diajarkan di lingkungan pendidikan tinggi yang menawarkan program pendidikan bisnis dan
manajemen. Beberapa kendala sering dihadapi dalam menumbuhkembangkan etika bisnis di dunia pendidikan.
Pertama, kekeliruan persepsi masyarakat bahwa etika bisnis hanya perlu diajarkan kepada mahasiswa program
manajemen dan bisnis karena pendidikan model ini mencetak lulusan sebagai mencetak pengusaha. Persepsi demikian
tentu tidak tepat. Lulusan dari jurusan/program studi nonbisnis yang mungkin diarahkan untuk menjadi pegawai tentu
harus memahami etika bisnis. Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha,
termasuk dalam berinteraksi dengan stakeholders, termasuk tentunya karyawan.

Etika bisnis sebaik apa pun yang dicanangkan perusahaan dan dituangkan dalam pedoman perilaku, tidak akan berjalan
tanpa kepatuhan karyawan dalam menaati norma-norma kepatutan dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Kedua,
pada program pendidikan manajemen dan bisnis, etika bisnis diajarkan sebagai mata kuliah tersendiri dan tidak
terintegrasi dengan pembelajaran pada mata kuliah lain. Perlu diingat bahwa mahasiswa sebagai subjek didik harus
mendapatkan pembelajaran secara komprehensif. Integrasi antara aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam proses
pembelajaran harus diutamakan. Sehingga masuk akal apabila etika bisnis—aspek afektif/ sikap dalam hal ini—
disisipkan di berbagai mata kuliah yang ditawarkan. Ketiga, metode pengajaran dan pembelajaran pada mata kuliah ini
cenderung monoton.Pengajaran lebih banyak menggunakan metode ceramah langsung.

Kalaupun disertai penggunaan studi kasus, sayangnya tanpa disertai kejelasan pemecahan masalah dari kasus-kasus
yang dibahas. Hal ini disebabkan substansi materi etika bisnis lebih sering menyangkut kaidah dan norma yang
cenderung abstrak dengan standar acuan tergantung persepsi individu dan institusi dalam menilai etis atau tidaknya
suatu tindakan bisnis. Misalnya, etiskah mengiklankan sesuatu obat dengan menyembunyikan informasi tentang indikasi
pemakaian? Atau membahas moral hazard pada kasus kebangkrutan perusahaan sekelas Enron di Amerika Serikat.
Keempat, etika bisnis tidak terdapat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.

Nilainilai moral dan etika dalam berperilaku bisnis akan lebih efektif diajarkan pada saat usia emas (golden age) anak,
yaitu usia 4–6 tahun. Karena itu, pengajarannya harus bersifat tematik. Pada mata pelajaran agama, misalnya, guru bisa
mengajarkan etika bisnis dengan memberi contoh bagaimana Nabi Muhammad SAW berdagang dengan tidak
mengambil keuntungan setinggi langit. Kelima, orangtua beranggapan bahwa sesuatu yang tidak mungkin mengajarkan
anak di rumah tentang etika bisnis karena mereka bukan pengusaha. Pandangan sempit ini dilandasi pemahaman
bahwa etika bisnis adalah urusan pengusaha.

Padahal, sebenarnya penegakan etika bisnis juga menjadi tanggung jawab kita sebagai konsumen. Orangtua dapat
mengajarkan etika bisnis di lingkungan keluarga dengan jalan memberi keteladanan pada anak dalam menghargai hak
atas kekayaan intelektual (HaKI), misalnya dengan tidak membelikan mereka VCD, game software, dan produk bajakan
lain dengan alasan yang penting murah. Keenam, pendidik belum berperan sebagai model panutan dalam pengajaran
etika bisnis. Misalnya masih sering kita mendapati fenomena orangtua siswa memberi hadiah kepada gurunya pada saat
kenaikan kelas dengan alasan sebagai rasa terima kasih dan ikhlas.

Pendidik menerima hadiah tersebut dengan senang hati dan dengan sengaja menunjukkan hadiah pemberian orangtua
siswa tersebut kepada teman sejawatnya dengan memuji-muji nilai atau besaran hadiah tersebut. Tidakkah kita sadari,
kondisi seperti ini akan memberikan kesan mendalam pada anak kita? Mengurangi praktik pelanggaran etika dalam
berbisnis merupakan tanggung jawab kita semua. Sebagai pengusaha, tujuan memaksimalkan profit harus diimbangi
peningkatan peran dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Perusahaan turut melakukan pemberdayaan kualitas hidup
masyarakat melalui program corporate social responsibility (CSR).

Pada saat kita berperan sebagai konsumen, seyogianya memahami betul hak dan kewajiban dalam menghargai karya
orang lain. Orangtua harus menjadi model panutan dengan memberikan contoh baik tentang perilaku berbisnis kepada
anak sehingga kelak mereka akan menjadi pekerja atau pengusaha yang mengerti betul arti penting etika bisnis.
Pemerintah sebagai regulator pasar turut berperan mengawasi praktik negatif para pelaku ekonomi. Sudah saatnya
pemerintah mempertimbangkan etika bisnis termuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Peran aktif para
pelaku ekonomi ini pada akhirnya akan menjadikan dunia bisnis di Tanah Air surga bagi investor asing.



Sumber: (*) Drs. Dedi Purwana E.S., M.Bus. Direktur Eksekutif the Indonesian Council on Economic Education (ICEE) http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/periskop/etika-bisnis-dan-pendidikan.html
http://www.duniaesai.com/manajemen/man10.html

APAKAH ETIKA BISNIS PENTING?

Apakah memang ada etika bisnis ? Apakah bisnis memang perlu memperhatikan etika ? Bukankah bisnis dan etika berada di dua dunia yang berbeda ? Demikianlah opini yang sering beredar di kalangan masyarakat, terutama masyarakat yang berkecimpung di dunia bisnis. Jangan-jangan etika bisnis itu hanya terdapat dalam teori di kampus-kampus semata. Toh, pada kenyataannya, jika memang mau untung, sering kita harus melupakan etika. Benarkah demikian?
Baiklah, mari kita lihat dulu, apa sih sebenarnya pengertian etika tersebut. Apakah itu etika ? Banyak sekali definisi yang berkaitan dengan etika. Tetapi pada intinya adalah, semua norma atau “aturan” umum yang perlu diperhatikan dalam berbisnis yang merupakan sumber rujukan nilai-nilai yang luhur dan kebajikan. Etika berbeda dengan hukum atau regulasi, di mana hukum dan regulasi jelas aturan main dan sanksinya, atau dengan perkataan lain hukum atau regulasi adalah etika yang sudah diformalkan.
Jadi dengan demikian, etika tersebut memanag tidak memiliki sanksi yang jelas, selain barangkali sanksi moral, atau sanksi dari Yang Maha Kuasa. Jadi, jika bersandar kepada definisi hukum, maka melanggar etika belum tentu berarti melanggar hukum. Jika melanggar hukum, sanksinya jelas berupa pidana atau perdata, sementara itu melanggar etika sanksinya tidak jelas, atau hanya sanksi moral semata. Jadi, sering etika tidak begitu diperhatikan.
Etika juga tidak sama dengan etiket, di mana etiket adalah suatu tatakrama pergaulan pada komunitas dan situasi tertentu yang disepakati bersama. Misalnya cara makan yang baik, cara berjalan yang baik, dan sebagainya. Ini adalah etiket, dan etiket itu bisa jadi merupakan bagian dari etika.
Nah, pada tulisan ini saya akan membahas mengenai etika, bukan etiket, bukan pula hukum atau regulasi. Misalnya contoh kasus begini, Anda menjual handset dengan mutu rendah atau cacat, tetapi dengan suatu cara jitu, Anda berhasil menyembunyikan masalah pada handset itu sehingga secara kasat mata tidak diketahui oleh pemakai, kecuali setelah menggunakannya selama beberapa waktu. Kemudian Anda membuat aturan, bahwa barang yang telah dijual tidak bisa ditukar / dikembalikan lagi dan barang itu tanpa garansi. Lalu ada orang yang membeli handset tersebut, dan tentu saja sebagai orang awam, dia tidak bisa melihat masalah atau kerusakan pada handset tersebut, dan transaksi pun terjadi. Tidak lupa Anda mengingatkan kepada dia bahwa barang yang telah dijual tidak bisa ditukar / dikembalikan lagi.
Setelah beberapa waktu, ternyata dia komplain kepada Anda bahwa ada masalah pada handset yang dia beli dan dia menuntut Anda untuk menggantinya. Lalu Anda berdalih, bahwa waktu terjadi transaksi dulu kan barangnya bagus-bagus saja, tidak ada masalah, dan si pembeli tidak komplain apa-apa. Lalu dengan dalih bahwa barang yang telah dijual tidak bisa ditukar / dikembalikan lagi, Anda menolak untuk mengganti handset tersebut, apalagi memang tidak ada garansi.
Salahkah Anda ? Secara hukum bisa jadi Anda benar. Tanpa menyewa pengacara handal pun, rasanya sudah bisa ditebak bahwa Anda akan menang berdebat dengan si pembeli tadi. Tetapi dari sisi pandang etika bisnis, Anda jelas-jelas salah, di mana Anda sebenarnya sudah mengetahui bahwa barang tersebut ada cacatnya atau ada masalahnya, tetapi Anda sembunyikan atau tidak memberitahu si pembeli. Artinya, dari awal Anda sudah tidak memiliki itikad baik dalam berdagang. Tetapi siapa yang bisa mengukur itikad ? Susah kan ? Sudah pasti dengan berbagai dalih, di kacamata hukum, bisa jadi Anda memang. Bahkan undang-undang perlindungan konsumen pun agak susah dipergunakan di sini. Bagaimana proses pembuktiannya ?
Oke lah, katakan Anda menang, tetapi benarkan Anda menang ? Dalam jangka pendek iya ! Tetapi tentu saja si pembeli tidak akan puas, dan karena dia “dikalahkan secara hukum” maka dia akan menulis surat pembaca di koran atau menyampaikan keluhan dia ke lembaga konsumen, atau menyampaikan kepada orang-orang lain. Dalam jangka panjang, akan terbentuk opini masyarakat mengenai toko Anda, yaitu menjual barang rusak dan tidak bagus. Ini jelas opini negatif, dan berpotensi untuk menjatuhkan reputasi Anda, dan lambat-laun, bisa jadi pembeli cenderung menurun. Jadi, dalam jangka panjang bisnis Anda bisa bermasalah. Di sini jelas terlihat, bahwa sanksi etika itu hanya berbentuk sanksi moral dan baru terlihat dalam jangka panjang.
Jadi, dalam jangka pendek, bisnis yang tidak memperhatikan etika bisa jadi menuai keuntungan, tetapi dalam jangka panjang, biasanya bermasalah dan mendapatkan sanksi moral dari masyarakat.
Oke, sekarang Anda sudah tahu bahwa etika itu penting. Sekarang, bagaimanakah sebenarnya bisnis yang beretika tersebut ? Apakah standar etika ? Nah, sekali lagi, etika tidak ada standar, karena kalau Anda meminta standar etika, sebenarnya Anda meminta hukum atau regulasi yang formal. Bisa jadi ada aspek-aspek etika yang sudah diformalkan menjadi hukum dan regulasi, tetapi masih sangat banyak yang belum. Misalnya, bagaimana Anda memformalkan itikad baik ? menyembunyikan informasi ? dan sebagainya. Dengan mudah dalih sederhana akan membuat Anda menang.
Tetapi berbagai pemikir etika di dunia mencoba untuk membuat panduan. Salah satunya adalah “prinsip bolak-balik” atau prinsip imperatif dalam etika yang dipopulerkan oleh filsul Immanuel Kant, di mana sesuatu tindakan dianggap tidak beretika apabila orang lain melakukannya kepada Anda, maka Anda tidak bisa menerimanya. Maksudnya begini, apakah bisa menerima jika Anda dipukul oleh orang lain ? Tentu saja tidak ! Rasanya akan sakit. Nah, berdasarkan “prinsip bolak-balik”, maka memukul orang lain dianggap tidak beretika, karena Anda pun tidak mau dipukul. Nah, di sini batasannya sangat subyektif sekali bukan ? Tetapi prinsip bolak-balik sudah cukup menjadi panduan etika yang sangat berpengaruh.
Apakah Anda bisa menerima kalau ternyata dibohongi oleh orang lain dalam berbisnis ? Jawabannya pasti tidak mau ! Maka dengan demikian, membohongi konsumen, atau menyembunyikan informasi yang penting (information asymmetry) adalah tindak yang tidak beretika dalam bisnis.
Kasus lain, katakan seperti ini, sekelompok penjual kartu isi ulang merek tertentu dengan sengaja menumpuk atau tidak menjual kartu isi ulang dengan harapan, akan terjadi kelangkaan di pasar, dan mereka bisa menaikkan harga atau menjual lebih tinggi, sesuai dengan teori demand and supply atau permintaan dan penawaran dalam ekonomi. Secara hukum mungkin saja hal ini melanggar peraturan atau regulasi, tetapi sekali lagi, jelas pembuktiannya sangat sulit. Ini adalah masalah itikad baik. Bagaimana pandangan etika mengenai hal ini ?
Sekali lagi, dengan “prinsip bolak-balik”, sekali lagi kita bisa menilai, apakah sesuatu itu beretika atau tidak. Apakah kita bisa menerima jika seandainya ada orang lain yang menimbun barang sehingga harganya mahal dan kita adalah konsumen barang tersebut ? Jika kita ikut kesal dengan ulah “spekulan” seperti ini, maka kegiatan menimbun barang tersebut dikategorikian tindakan tidak beretika.
Kesimpulannya, suatu tindakan dianggap beretika apabila Anda pun tidak keberatan jika orang lain melakukan hal itu terhadap diri Anda, sesuai dengan prinsip bolak-balik.
Tetapi masalahnya tidak semua orang memiliki wawasan atau pandangan yang sama. Semakin terdidik atau terpelajar, atau semakin luas wawasan seseorang, maka biasanya semakin komprehensif analisisnya untuk etika ini. Misalnya begini, apakah membuang sampah ke sungai itu melanggar etika ? Bagi orang yang tidak mengerti masalah lingkungan hidup, maka membuang sampah ke sungai itu sah-sah saja, dan dia pun tidak keberatan jika ada orang lain yang membuang sampah ke sungai. Dalam perspektif orang ini, jelas membuang sampah ke sungai tidak bertentangan dengan etika. Tetapi buat orang yang mengerti masalah lingkungan hidup, dan paham bahwa ini akan mengakibatkan banjir, maka dia akan menilai bahwa membuang sampah ke sungai adalah tindakan yang melanggar etika.
Begitu juga dalam berbisnis. Tidak semua pelaku bisnis menyadari apa dampak ekonomi dan sosial dari apa yang mereka lakukan. Apalagi yang sifatnya dampak tidak langsung, lebih tidak disadari lagi. Misalnya menjual barang rusak atau cacat. Bisa jadi Anda menganggap toh sah-sah saja menjual barang rudak atau cacat, karena Anda yakin semua konsumen akan memeriksa dulu setiap barang yang akan mereka beli. Kalau oke, silakan beli, kalau tidak, ya tidak apa-apa. Sepintas lalu, kelihatannya hal seperti ini tidak ada masalah, tetapi dia akan menjadi masalah begitu kita menyadari bahwa ternyata tidak semua konsumen itu mampu memerika barang yang kita jual tersebut dengan baik.
Nah, di sini Anda bisa berdalih kan ? Salah sendiri kenapa tidak memeriksa dulu barang yang dibeli ? Persoalannya tidak sesederhana itu, karena sekali lagi setiap individu itu punya wawasan serta kemampuan yang berbeda-beda. Rasanya akan sakit sekali jika ketahuan belakangan bahwa ternyata kita membeli barang yang rusak atau cacat, tetapi si penjual tidak menyampaikannya kepada kita, alias si penjual tidak memberikan informasi yang utuh mengenai produk yang dijual atau information asymmetry. Nah, Anda bisa saja berdalih, salah sendiri kenapa tidak teliti atau tidak bertanya sewaktu membeli. Akhirnya kita kembali kepada aspek lain dari etika, yaitu itikad baik. Jelas, ada suatu itikad yang tidak baik dari Anda untuk tidak menyampaikan kerusakan atau cacat barang tersebut kepada konsumen.
Kesimpulannya, etika bisnis sangat tergantung kepada itikad baik, dan hanya Anda sendirilah yang mengetahui itikad baik ini, orang lain susah atau bahkan tidak akan tahu sama sekali, bahkan jika Anda melanggar pun, orang lain tidak mudah untuk mengetahuinya.

sumber : http://www.ririsatria.net/2008/10/07/etika-bisnis-pentingkah/

Senin, 15 November 2010

PENYIMPANGAN PROFESI AKUNTANSI – PROFESI BISNIS

Penyimpangan sering terjadi di segala bidang, tak terkecuali penyimpangan profesi akuntansi dan profesi bisnis. Pada tulisan kali ini saya mengangkat masalah kasus ENRON..

Identifikasi Kasus ENRON:

· Beberapa perusahaan besar di Amerika Serikat terlibat skandal bisnis yang menyebabkan kehancuran pada perusahaan. Salah satunya adalah Enron.

· Kasus Enron terungkap pada Desember 2001 dan terus berkembang tahun 2002.

· Turunnya harga saham atau bursa efek yang drastis diberbagai belahan dunia.

· Kasus Enron terdapat manipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan $600 juta padahal perusahaan rugi, dengan tujuan agar investor tetap tertarik pada saham Enron.

· Direktur dan sebagian besar Karyawan Enron berasal dari KAP Andersen. Enron adalah klien KAP Anderson.

· Awal tahun 2001 hasil evaluasi KAP Anderson tetap mempertahankan Enron sebagai klien.

· Pertengahan tahun 2001 Salah seorang eksekutif Enron di laporkan telah mempertanyakan praktek akunting perusahaan yang dinilai tidak sehat kepada CEO dan partner KAP Andersen.

· CEO Enron menugaskan melakukan investigasi. Hasil investigasi tidak ada hal serius yang perlu diperhatikan.

· 16 Oktober 2001 Enron menerbitkan laporan keuangan, Enron mengalami keuntungan yang meningkat dari periode sebelumnya.

· CEO Enron tidak menjelaskan secara rinci tentang pembebanan biaya akuntansi khusus (special accounting charge/expense) sebesar $1 miliar, yang sebenarnya rugi sebesar $644 juta.

· 2 Desember 2001 Enron mendaftarkan kebangkrutan dan memiliki hutang sebesar lebih dari $1 miliyar.

· Enron dan KAP Andersen dituduh telah melakukan kriminal dalam bentuk penghancuran dokumen yang berkaitan dengan investigasi atas kebangkrutan Enron.

· Dana pensiun Enron sebagian besar diinvestasikan dalam bentuk saham Enron,harga saham Enron terus menurun dan hampir tak ada nilainya.

· Juni 2002 KAP Andersen diberhentikan sebagai auditor Enron.

· Tanggal 14 Maret 2002 departemen kehakiman Amerika memvonis KAP Andersen bersalah atas tuduhan melakukan penghambatan dalam proses peradilan karena telah menghancurkan dokumen-dokumen yang sedang di selidiki.

· KAP Andersen terus menerima konsekwensi negatif dari kasus Enron berupa kehilangan klien, pembelotan afiliasi yang bergabung dengan KAP yang lain dan pengungkapan yang meningakat mengenai keterlibatan pegawai KAP Andersen dalam kasus Enron.

Teori yang mendukung:

Etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Berdasarkan kasus Enron terdapat beberapa penyimpangan etika profesi akuntansi yaitu memanipulasi pembukuan perusahaan dan kebohongan public.

Sanksi yang diterima oleh Enron dan KAP Andersen berupa sanksi hukum, karena berskala besar dan merugikan hak pihak lain.

Teori yang mendukung dalam bidang etika profesi dan etika bisnis yaitu melalui Perkembangan paham etika yang berkaitan dengan kasus Enron yaitu:

· Teleology

· Machiavellism

Teleology merupakan tindakan dianggap secara moral benar jika menghasilkan yang diinginkan sebagian orang, yaitu kesenangan, pengetahuan, pertumbuhan karakter, suatu kepentingan diri, atau kegunaan. Teleology terbagi dua (2) yaitu egoism dan uttilitarism. Dalam kasus Enron termasuk dalam egoism karena Enron dan KAP Andersen menutupi keadaan yang sebenarnya atas keuangan serta laba Enron agar saham Enron tetap diminati investor. Paham Machiavellianism juga terkait dengan kasus Enron karena Enron telah mendapatkan lebih banyak rewards dibandingkan yang dia peroleh ketika tidak melakukan manipulasi pembukuan. Enron telah memanfaatkan situasi untuk mendapatkan kauntungan pribadi serta tidak taat aturan dan melakukan tindakan tidak etis.